Dia yang Berjiwa Sederhana dan Luhur Budinya

Pahala Puasa Sungguh Tak Terhingga
April 17, 2022
Menggapai Gelar Insan yang Bertakwa
April 19, 2022

LENTERA RAMADAN #17 oleh Dra. Nur Aisyah (guru kelas dan Kemuhammadiyahan SD Mugres)

***

Malam itu Rasulullah saw. tengah melakukan salat Isya berjemaah. Tampak para sahabat berbaris rapi di belakang beliau. Termasuk di antaranya adalah Umar Bin Khaththab r.a.

Namun, ada yang tidak biasa pada salat Isya saat itu. Terdengar suara mirip gesekan tulang-tulang sendi hingga terdengar seperti suara gemeretak yang memilukan. Krek, krek, krek di saat rukuk dan sujud. Dari arah depan, yaitu arah imam yang tidak lain adalah Rasulullah saw.

Selesai salat para sahabat saling pandang seolah-olah mereka punya firasat yang sama. Rasulullah saw. sedang sakit. Spontan mereka langsung bergerombol mengelilingi beliau.

Sahabat Umar r.a. mulai memberanikan diri bertanya pada beliau “Wahai, Nabi, apakah engkau sedang sakit?”

“Tidak,” jawab Nabi.

Umar melanjutkan, “Tapi, wahai, Rasulullah, saat salat tadi kami mendengar ada bunyi sendi yang saling bergesekan dari badanmu.”

“Tidak, aku tidak sedang sakit,” Nabi meyakinkan sekali lagi.

Para sahabat penasaran dan terus bertanya-tanya.

Karena desakan pertanyaan dari para sahabat, akhirnya Rasulullah saw. mau mengaku. Beliau membuka bajunya dan perlahan membuka kain yang membalut perutnya.

Alangkah terkejutnya para sahabat melihat ada batu-batu kecil dalam kain itu. Umar pun sontak bertanya, “Wahai, Nabi, untuk apa engkau mengganjal perutmu dengan batu?”

“Aku lapar dan tidak memiliki apa-apa untuk dimakan,” jawab Rasulullah saw.

“Wahai, Rasulullah, sehina itukah engkau memandang kami? Apakah jika engkau berkata lapar, kami tidak akan memberi makanan yang paling lezat?”

Umar kembali merendahkan suaranya, “Kami semua sahabatmu ini telah hidup dalam kemakmuran, sementara engkau dalam keadaan menahan lapar.”

“Tidak, Umar,” Rasulullah saw. menjawab pertanyaan Umar yang beruntun itu.

“Justru aku tahu bahwa kalian tidak hanya akan memberikan makanan lezat padaku. Namun, juga harta benda, bahkan nyawa akan kalian berikan sebagai rasa cinta.”

“Tapi Umar, bagaimanakah aku akan mempertanggungjawabkannya di hadapan Allah dan menyembunyikan rasa malu itu karena lapar? Jika sebagai pemimpin, aku hanya menjadi beban pada orang yang aku pimpin?”

Mendengar jawaban tersebut, Umar dan para sahabat terdiam.

Luhurnya akhlak beliau. Kehidupan yang sederhana dan bersahaja patut untuk diteladani. Itulah yang menjadi penyebab mengapa risalah yang beliau bawa masih lestari hingga saat ini.

Dengan segala kekuatan dan pengaruh yang beliau miliki sebagai seorang kepala negara, panglima tertinggi, dan pemegang otoritas agama, sudah selayaknya Nabi Muhammad saw. memperoleh segala fasilitas untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Kalau hanya sekadar memenuhi kebutuhan perutnya, mudah bagi beliau hanya berucap satu kata, maka para sahabat akan membawakannya. Sebagai pemimpin umat, segala apa yang diinginkan tentu akan tersedia.

Namun, tidak bagi beliau. Rasulullah saw. sedang mengajarkan pada kita bagaimana cara untuk menahan nafsu. Salah satunya, dengan cara berpuasa. Bahkan, dalam kondisi lapar pun beliau berusaha menutupinya.

Nabi yang agung itu mengajarkan kepada umatnya bagaimana bersikap tidak mudah “memanfaatkan” dan mengambil sesuatu yang bukan menjadi haknya, meskipun memiliki pengaruh dan kekuasaan.

Salam bagimu, wahai, Rasulullah junjungan kami. Sungguh suatu kenyataan bahwa sampai saat ini kami masih tertatih-tatih meniru akhlakmu yang mulia.

Kami sungguh mencintaimu, ya Rasulullah, meskipun kami belum mampu meneladani semua akhlakmu yang mulia itu.

اللَّهُمَّ صّلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَآلِ إِبْرَاهِيْمَ اِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ

Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *