-Cerpen karya Faradilah Kirana Syahrine (kelas 6)-
Memperingati Hari Konservasi Alam Nasional, 10 Agustus
“Alhamdulillah, pagi ini cerah,” ucapku gembira sambil menengadah ke langit. Beberapa hari yang lalu setiap pagi selalu mendung. Rencanaku bersepeda bersama teman-teman sering gagal karena takut kehujanan. Syukurlah, hari ini bisa terwujud.
Saat hendak mengeluarkan sepeda dari dalam rumah, kulihat ibu gelisah di depan rumah.
“Kenapa, Bu?” tanyaku penasaran.
“Ini lho, sampah numpuk. Sudah lima hari ini Pak Wito, petugas sampah kampung kita nggak ambil sampah. Tuh lihat!” ucap ibu sambil menunjuk tong sampah yang isinya meluber dan dirubungi lalat.
“Aduh, baunya!” teriakku menjauh. Telunjuk dan jempolku mengapit hidung.
Tak berselang lama dua temanku datang menjemput. Yadi dan Iwan. Mereka berteriak memanggil namaku dari kejauhan, “Dudung!”
“Dung, kenapa belum bersiap? Mumpung cuacanya cocok buat kita keliling bersepeda,” kata Yadi.
“Ups, bau apa ini ya? Kok nggak enak banget,” ujar Iwan sambil mengibaskan tangan di depan hidung.
“Hueekk!” sontak Yadi dan Iwan. Tanpa aba-aba, mereka kompak menutup hidung.
“Sepanjang jalan dari rumahku juga sudah tercium bau yang huek seperti ini,” ucap Iwan.
Pak Slamet tiba-tiba muncul di tengah keributan kami. “Maaf ya, Adik-adik. Ini bau dari sampah warga sini yang menumpuk. Pak Wito, petugas sampah kampung tidak datang mengambil sampah.”
Pak Slamet adalah ketua RT di kampungku. Wajahnya dipenuhi keringat. Tangannya terbungkus kaus tangan warna putih. Napasnya agak tersengal. Ia pun memilih duduk di bangku depan rumahku.
“Bagaimana ini, Pak RT?” tanya ibu.
“Semalam saya menelepon Pak Wito. Ternyata dia sudah pindah. Ada saudaranya yang mengajak bekerja di luar kota,” jawab Pak Slamet.
“Oalah…” ucap Yadi dan Iwan kompak seperti tadi.
“Saya masih belum menemukan orang yang mau menggantikannya. Jadi, untuk beberapa hari ke depan ini kita sendiri yang membuangnya,” terang Pak Slamet.
“Pak Wito itu gimana sih?! Kalau sudah begini kita yang dapat masalah,” ucapku cemberut.
Ibu mengelus pundakku, “Dudung, tidak boleh ngomong begitu. Sampah-sampah dan kebersihan kampung ini kan bukan tugas Pak Wito saja. Kita semua juga harus ikut bertanggung jawab.”
“Iya, Bu. Maaf,” kataku sambil tertunduk.
Aku dan teman-teman jadi enggan meneruskan niat bersepeda. Kami memilih ikut duduk bersama Pak Slamet.
“Kalian tidak jadi bersepeda?” tanya Pak Slamet kepada kami.
“Tidak, Pak.”
“Kalau begitu tolong kalian bersepeda keliling ke rumah-rumah warga! Sampaikan kalau hari ini Pak RT mengundang bapak-bapak warga untuk kerja bakti. Berkumpul di Balai RT ya,” pinta Pak Slamet.
“Siap, Pak!”
Tanpa ba-bi-bu kami pun mendatangi rumah warga satu per satu menyampaikan pesan dari Pak Slamet. Kami begitu bersemangat. Namun, ada sesuatu yang mengherankan saat kami ke rumah-rumah warga. Ada yang aneh.
Tak berselang lama kami bersama beberapa warga ke balai.
“Loh, kok cuma 6 orang saja yang datang?” tanya Pak Slamet heran.
“Begini, Pak. Saya tadi merasa heran. Waktu kami berkeliling, ternyata banyak warga yang sedang sakit,” jawabku.
“Ada yang anaknya terkena demam berdarah dan harus dirawat di rumah sakit. Ada yang sedang sakit perut dan muntah-muntah,” tambah Yadi.
“Oh iya, tadi juga banyak warga mengeluh gatal-gatal,” lanjut Iwan.
“Ada yang mencret-mencret juga, Pak,” ujar Yadi terkekeh.
“Hiyeeekk!” kataku spontan.
“Wah, pasti semua ini disebabkan lingkungan kita yang terlalu banyak sampah. Apalagi musim hujan begini,” jawab Pak Slamet, “Ayo kita mulai kerja bakti agar lingkungan kita bersih!”
“Setuju!”
“Pak, maaf nih. Mau tanya. Sampah-sampahnya mau diapakan?” tanya Iwan.
“Kita kumpulkan pakai gerobak yang biasa dipakai Pak Wito, lalu buang ke TPS dekat kantor desa,” jawab Pak Slamet.
“Bagaimana kalau tidak langsung kita buang, Pak? Kita pilah dulu. Kita manfaatkan sampah yang ada. Kalau langsung dibuang, kita butuh banyak tenaga untuk bolak-balik TPS. Lokasinya lumayan jauh,” kata Iwan.
“Untuk sampah organik bisa kita manfaatkan untuk membuat pupuk kompos. Lumayan bisa dipakai untuk pupuk tanaman,” tambahku.
“Untuk sampah plastik bisa kita daur ulang. Atau kita bisa jual ke pengepul,” tambah Yadi.
“Nah, yang bisa kita buang ke TPS itu sampah yang tidak bisa dimanfaatkan lagi. Nanti kami bantu memilahnya, Pak,” ucapku.
“Wah, kalian masih SD kok pintar ya?”
“Ya kan di sekolah kami ada pelajaran PLH, Pak. Pendidikan Lingkungan Hidup,” jawab Iwan tak mau kalah.
“Wah, keren!”
Pak Slamet menyodorkan beberapa pasang kaus tangan kepada kami. Kami langsung memakainya. “Gunakan kaus tangan ini agar kalian lebih nyaman saat memilah sampah!”
“Nanti setiap tong sampah bisa kalian periksa mana sampah yang bisa dimanfaatkan. Bapak-bapak akan menyiapkan wadah untuk itu,” atur Pak Slamet.
“Siap!” seru kami disertai beberapa warga lain.
“Perlu diperhatikan lagi, untuk selanjutnya para warga harus memilah sendiri sampahnya sebelum dibuang. Yang organik bisa ditempatkan di komposter yang nanti akan kita buat. Untuk sampah plastik bisa ditaruh di balai yang akan kita sediakan bank sampah. Paham semua ya?”
“Josss… Paham, Pak!” Kami memulai kerja bakti, walau hanya sedikit orang. Semangat kami tidak kendur.
Menjelang sore lingkungan kami pun sudah terlihat bersih dan bebas bau sampah. Aku, Yadi, dan Iwan tersenyum lega. Dengan percaya diri, sontak Iwan berujar, “Kalau begini, tugas Pak Wito biar kita yang menggantikan. Aku yang jadi komandannya.”
“Huuuu… Sok pede.”