Tradisi Malem Selawe di Gresik

Dahsyatnya Doa
April 13, 2022
Safari Ramadhan Rekatkan Silaturahmi dengan Masyarakat Sekitar
April 14, 2022

Suasana tradisi malem selawe di Giri (foto: disparbud.gresikkab.go.id)

LENTERA RAMADAN #13 oleh Lilik Isnawati, S.Pd., M.Pd. (guru kelas dan Ismu SD Mugres)

***

Tradisi malem selawe tentunya sudah banyak yang mengetahui, khususnya bagi masyarakat Gresik. Tradisi itu semakin dikenal banyak orang seiring banyaknya para pendatang dari luar Gresik yang tinggal di Gresik. 

Salah satu faktor yang mendukung adalah masyarakat urban. Karena faktor pekerjaan, mengikuti suami yang bekerja, karena mengambil studi di Gresik, karena perkawinan, dan sebagainya.

Para pendatang berasal dari beraneka ragam daerah, seperti dari sekitar Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, sampai dari daerah luar Jawa. Tidak hanya itu, ada juga dari luar negeri, mengingat semakin banyaknya tenaga kerja dari luar negeri yang mencari penghidupan (ma’isyah) di Gresik.

Gresik merupakan daerah industri yang sangat padat. Mulai perusahaan yang besar, sedang,  sampai yang kecil. Contohnya, pabrik pupuk PT Petrokimia, PT Semen Indonesia, pabrik cat PT Nippon Paint, PT Wilmar, dan BHS Tekstil. Ada juga beberapa kawasan industri lainnya yang sudah menguasai Gresik, Kawasan Industri Gresik, Maspion, dan masih banyak lainnya.

Tentunya, salah satu faktor inilah yang membuat Gresik menjadi semakin padat dan beragam penduduknya. Pada akhirnya  tradisi malem selawe bisa diketahui oleh banyak orang dan semakin populer.

Apa itu malem selawe? Tradisi ini merupakan sebuah tradisi masyarakat Giri yang sudah ada  sejak zaman Sunan Giri (salah satu tokoh wali songo, salah satu penyebar Islam di Jawa). Saat  bulan Ramadan memasuki malam-malam terakhir, malam likuran, yang terkenal dengan sebutan maleman.

Malem selawe berarti menjelang hari ke-25 Ramadan. Dapat disebut sebagai malam puncak Ramadan. Banyak peziarah yang datang ke Makam Sunan Giri, mulai dari anak kecil, remaja, hingga orang tua.

Tradisi malem selawe bermula untuk  berburu Lailatul Qadar bagi para santri dan penziarah zaman Sunan Giri, berlangsung secara turun-temurun sampai sekarang.

Para peziarah datang berbondong-bondong untuk iktikaf, berdoa, mengaji, dengan harapan mendapat berkah. Juga, berharap mendapat malam yang sangat istimewa, yaitu Lailatul Qadar.

Saat malem selawe itulah seluruh masyarakat dari sekitar Giri dan daerah lainnya berdatangan berjubel-jubel. Menapaki sepanjang Jalan Sunan Giri sampai dengan area masjid dan makam. Kanan-kiri jalan penjual makanan, minuman, mainan, baju, jilbab, dan lain-lain.

Aktivitas itu sepanjang malam dari mulai sore hingga pagi. Banyak peziarah dari daerah-daerah perdesaan sekitar yang rela menginap dan tidur di area pemakaman. Jadi, mereka tidur di sekitar makam-makam tua, malah kadang tidur di atas makam. Sungguh pemandangan yang miris.

Yang saya amati sebagai orang Giri asli adalah bahwa kegiatan maleman itu sudah ada saya masih kecil dan selalu ada setiap tahun pada setiap bulan Ramadan. Mungkin akan ada seterusnya, wallahu a’lam. Hanya karena pandemi Covid-19, selama kurang lebih dua tahun, malem selawe tidak diselenggarakan.

Nilai positif tradisi malem selawe adalah sebagai ajang taaruf sesama saudara. Sejak saya kecil, rumah kakek dan bapak saya selalu kedatangan tamu yang banyak, terutama saudara-saudara dari desa. Malah, bertambah banyak karena mereka juga membawa serta tetangga-tetangganya. Bagi yang tidak punya saudara di Giri mereka tidur seadanya seperti yang saya ceritakan di atas. 

Dari sisi negatif, saat malem selawe banyak  momen kegiatan yang sebenarnya tidak tepat khususnya di bulan Ramadan. Bagaimana tidak, sepanjang malam kegiatannya adalah berjalan dengan berdesak-desakan menapaki sepanjang jalan.

Sekarang malah dijadikan momen yang lebih memilukan. Para muda-mudi sengaja mengambil kesempatan untuk berduaan. Waktu yang seharusnya untuk memperbanyak ibadah, berzikir, iktikaf, mendekatkan diri kepada Allah, malah digunakan banyak orang untuk hal yang sia-sia. Lebih-lebih mendekatkan kepada perbuatan dosa. Agaknya nilai tradisi malam selawe ini mulai bergeser menjadi pasar malam dan hiburan rakyat di bulan Ramadan.

Semua orang lupa dengan bulan yang sangat berharga ini. Ramadan yang selalu ditunggu-tunggu kehadirannya, Ramadan yang penuh berkah, Ramadan sebagai bulan Lailatul Qadar, yang lebih baik dari seribu bulan.

Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam Al-Qur’an surah Al-Qadr.

اِنَّآ اَنْزَلْنٰهُ فِيْ لَيْلَةِ الْقَدْرِ○ وَمَآ اَدْرٰىكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِۗ○ لَيْلَةُ الْقَدْرِ ەۙ خَيْرٌ مِّنْ اَلْفِ شَهْرٍۗ○ تَنَزَّلُ الْمَلٰۤىِٕكَةُ وَالرُّوْحُ فِيْهَا بِاِذْنِ رَبِّهِمْۚ مِنْ كُلِّ اَمْرٍۛ○ سَلٰمٌ ۛهِيَ حَتّٰى مَطْلَعِ الْفَجْرِ

Sesungguhnya kami telah menurunkannya (Al-Qur’an) itu pada malam kemuliaan. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Rabb-nya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar.”

Begitu istimewanya Lailatul Qadar, banyak hadis Rasulullah yang mengajak kita untuk berusaha mendapatkan Lailatul Qadar, di antaranya:

1. Menghidupkan malam Lailatul Qadar adalah bukti keimanan seseorang

مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إَيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

Dari Abu Hurairah r.a, bersabda Nabi saw. : “Barang siapa menghidupkan malam Lailatul Qadar dengan iman dan mengharap rida Allah Swt., maka diampuni dosanya yang terdahulu.” (HR Bukhari, I/61, hadits no. 34)

2. Menggapai Lailatul Qadar hendaklah dalam keadaan berpuasa.

مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إَيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

 مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْذَنْبِهِ

Dari Abu Hurairah r.a. Nabi saw. bersabda : “Barang siapa menghidupkan malam Lailatul Qadar dengan iman dan mengharap rida Allah Swt., maka diampuni dosanya yang terdahulu. Barang siapa berpuasa Ramadan dalam iman dan mengharap rida Allah Swt., maka akan diampuni dosanya yang telah lalu.” (HR Bukhari, VI/468, hadis no. 1768)

3. Mencari Lailatul Qadar itu pada sepuluh malam yang terakhir.

وَعَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ : كَانَ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ يُجَاوِرُ فِيْ الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ وَيَقُوْلُ : تَحَرُّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ، مُتَّفَقٌ عَلَيهِ

 Dari Aisyah r.a. berkata : “Adalah Rasulullah saw. itu beriktikaf dalam sepuluh hari yang terakhir dari bulan Ramadhan dan beliau saw. bersabda: “Carilah Lailatul Qadar itu dalam sepuluh yang terakhir –yakni antara malam ke-21 sampai malam ke-30– dari bulan Ramadan.” (HR Bukhari, VII/147, hadits no. 1880. Mutafaq ‘alaih)

Semoga kita selalu ingat dan selalu mendapat hidayah dari Allah Swt. Melalui goresan  ini muncul kesadaran kita untuk kembali memaknai malam selawe sebagai tradisi masyarakat Giri khususnya dan masyarakat Gresik umumnya adalah sebagai momen silaturahmi umat Islam. Tentunya, juga untuk  mendekatkan diri kepada Allah Swt. dan menggapai malam Lailatul Qadar.

Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *