LENTERA RAMADAN #19 – Tahun 1444 H oleh Ir. Endang Arfiyanti (guru SD Mugres)
***
LENTERA – Pada saat umat Islam selesai merayakan Idulfitri, beberapa hari kemudian biasanya banyak bermunculan kegiatan yang bertajuk halalbihalal. Kegiatan ini merupakan tradisi khas Indonesia dengan ucapan “mohon maaf lahir-batin” di dalamnya. Hal itu dilakukan sebagai salah satu upaya untuk membersihkan diri dari dosa karena kesalahan kepada orang lain, walaupun terkadang kita sama sekali tidak tahu kesalahan apa yang telah diperbuat oleh pemohon.
Pada fitrahnya, setiap orang tentu merasa dirinya banyak dosa. Ada sebuah pepatah populer yang lazim kita dengar berkaitan dengan hal tersebut, yaitu:
اَلْاِنْسَانُ مَحَلُّ الْخَطَاءِ وَالنِّسْيَانِ
“Manusia itu tempat salah dan lupa.”
Sedangkan hadis yang maknanya hampir sama dengan itu berbunyi:
كُلُّ ابْنِ آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الْخَطَّائِينَ التَّوَّابُونَ
“Setiap anak Adam pernah berbuat salah dan sebaik-baik yang berbuat salah adalah yang bertobat dari kesalahannya.” (HR. At Tirmidzi no. 2499, Hasan)
Sebagai seorang muslim, kita tentu berusaha untuk bersih dari berbagai bentuk dosa. Bahasan mengenai dosa ini juga bisa kita pelajari pada Al-Qur’an surah An-Nisa’ ayat 110-116.
Dengan adanya pengakuan bahwa manusia banyak dosa dan kesalahan, umat Islam di Indonesia mengambil jalan terobosan dengan mengadakan halalbihalal, sembari berharap sekali gebrak semua dosa bisa habis. Pulangnya menjadi enteng tidak punya dosa lagi.
Padahal dalam ajaran agama, permintaan maupun pemberian maaf itu harus jelas untuk apa, harus jelas pula bentuk kesalahannya. Tidak boleh ada maaf dengan niat gambling, dengan harapan kalau ada salah dalam bentuk apapun, salahnya itu dapat langsung terhapus.
Jadi, yang perlu kita pahami adalah bahwa bermaaf-maafan dalam kegiatan halalbihalal itu hanyalah sebuah tradisi, bukan kegiatan keagamaan. Kita tidak boleh meng-agama-kan tradisi atau menjadikan tradisi itu sebagai ajaran agama.
Kalau tradisi dianggap agama, orang akan cenderung mencela orang lain yang tidak melakukan tradisi tersebut. Justru yang lebih penting adalah kita mentradisikan agama, yaitu menjadikan ajaran agama sebagai sebuah tradisi.
Dari bahasan singkat di atas, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa:
Pertama, saling memaafkan pada saat Idulfitri adalah sebuah tradisi yang baik, tetapi bukan ajaran agama. Jadi, jangan menjadikan permintaan maaf atau ucapan-ucapan tertentu saat Idul Fitri menjadi sebuah keharusan.
Apabila ada orang yang tidak melakukannya, kita tidak boleh menyalahkan, memboikot, apalagi sampai membencinya.
Kedua, mengakui kesalahan dan kekeliruan terhadap seseorang yang diikuti dengan permintaan maaf dan pihak yang bersangkutan memberi maaf adalah bagian dari ajaran agama. Hal tersebut berlaku sepanjang waktu, tidak harus menunggu Idulfitri atau Iduladha. Ini yang perlu ditradisikan supaya seseorang bisa terbebas dari dosa besar.□
Penulis