Taharah: Pengertian Umum (Bagian 1)

Satukan Tekad Maju Bersama, Dikdasmen PCM Gresik Gelar Family Gathering
October 2, 2022
Pelajari Proses Pembuatan Kopiah, Siswa Kunjungi Besali
October 5, 2022

Siswi SD Mugres berpraktik wudu. (dok. sdmugres)

MUHAMMADIYAH.OR.ID – Secara bahasa thahârah berarti suci dan bersih, baik itu suci dari kotoran lahir maupun dari kotoran batin berupa sifat dan perbuatan tercela. Sedangkan secara istilah fiqh, thaharah adalah: mensucikan diri dari najis dan hadats yang menghalangi shalat dan ibadah-ibadah sejenisnya dengan air atau tanah, atau batu. Penyucian diri di sini tidak terbatas pada badan saja tetapi juga termasuk pakaian dan tempat.

Hukum thahârah (bersuci) ini adalah wajib, khususnya bagi orang yang akan melaksanakan shalat. Hal ini didasarkan pada QS. Al-Ma’idah/5: 6 dan hadis Nabi saw:

مِفْتَاحُ الصَّلاةِ الطُّهُورُ …

“Kunci shalat itu adalah bersuci …” (HR al-Tirmidzi, Ibn Mâjah, Ahmad, al-Dârimi, dari ‘Ali bin Abi Thâlib ra.)

Alat yang digunakan untuk bersuci terdiri dari air, debu dan batu atau benda padat lainnya (seperti: daun, tisu) yang bukan berasal dari najis/kotoran. Benda padat tersebut digunakan khususnya ketika tidak ada air. Namun jika ada air yang bisa digunakan bersuci, maka disunnahkan untuk lebih dahulu menggunakan air. Tapi tidak semua air dapat digunakan untuk bersuci.

Air yang dapat digunakan untuk bersuci adalah: 1) Air muthlaq yaitu air yang suci lagi mensucikan, seperti: air mata air, air sungai, zamzam, air hujan, salju, embun, air laut; 2) Air musta`mal yaitu air yang telah digunakan untuk wudlu dan mandi (Muttafaq `alayh, dari Jabir).

Sedangkan air yang tidak dapat digunakan untuk bersuci antara lain: 1) Air mutanajjis yaitu air yang sudah terkena najis, kecuali dalam jumlah yang besar yakni minimal dua kulah (قُلَّتَيْنِ. HR. Tirmidzi, Nasa’i, dll.) atau sekitar 500 liter Iraq, dan tidak berubah sifat kemutlakannya yakni berubah bau, rasa dan warnanya; 2) Air suci tetapi tidak dapat mensucikan, seperti air kelapa, air gula (teh atau kopi), air susu, dan semacamnya. Namun air yang bercampur dengan sedikit benda suci lainnya –seperti air yang bercampur dengan sedikit sabun, kapur barus atau wewangian–, selama tetap terjaga kemutlakannya, maka hukumnya tetap suci dan mensucikan. Tapi jika campurannya banyak hingga tidak layak lagi disebut sebagai air mutlak, maka hukumnya suci tapi tidak menyucikan.

Najis dan Hadas

Najis adalah segala kotoran seperti tinja, kencing, darah (termasuk nanah), daging babi, bangkai (kecuali bangkai ikan, belalang dan sejenisnya), liur anjing, madzi (yakni air berwarna putih cair yang keluar dari kemaluan laki-laki yang biasanya karena syahwat seks, tetapi bukan air mani), wadi (yaitu air putih agak kental yang keluar dari kemaluan biasanya setelah kencing dan karena kecapaian), dan semacamnya. Inilah yang kemudian dikenal dengan istilah najis hakiki. Najis ini harus dihilangkan lebih dahulu dari badan dan pakaian, sebelum melakukan aktivitas thaharah selanjutnya.

Selain najis hakiki, dikenal pula istilah najis hukmi atau hadas itu sendiri yakni sesuatu yang diperbuat oleh anggota badan yang menyebabkan ia terhalang untuk melakukan shalat. Hadats ini ada dua macam, yaitu hadas kecil dan hadas besar. Hadas kecil adalah suatu keadaan di mana seorang muslim tidak dapat mengerjakan shalat kecuali dalam keadaan wudlu atau tayammum. Yang termasuk hadats kecil adalah buang air besar dan air kecil, kentut, menyentuh kemaluan tanpa pembatas, dan tidur nyenyak dalam posisi berbaring. Sedangkan hadas besar (seperti: junub dan haid) harus disucikan dengan mandi besar, atau bila tidak memungkinkan untuk mandi maka cukup berwudlu’ atau tayammum.

… bersambung

Artikel ini dilansir di https://muhammadiyah.or.id/thaharah/

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *