LENTERA RAMADAN #8 – Tahun 1444 H dihimpun oleh Anis Rohmatun Ulya, S.Th.I. (guru tahfiz SD Mugres)
***
LENTERA – Dalam bahasa Jawa, kata ‘unggah’ (Indonesia: naik) bermakna menaikkan derajat seseorang (yang diajak berinteraksi) sesuai dengan status (sosial) martabatnya. Sedangkan, kata ‘ungguh’ berasal dari kata ‘lungguh’ (Indonesia: duduk) berarti mendudukkan/menempatkan diri kita dan orang lain yang diajak berinteraksi sesuai porsi, derajat dan martabatnya.
Jadi, unggah-ungguh adalah menghargai atau mendudukkan orang lain sesuai dengan ‘lungguhe‘ (kedudukannya) dan siapa yang seharusnya di-‘unggahke‘ (dinaikkan), hal itu untuk menjaga orang yang kita ajak berinteraksi agar juga kembali ikut mengunggah (menaikkan) dan me-lungguhke (menempatkan) diri kita.
Sobat Mugres, bila kita mau menerapkan konsep Islam dengan sebenarnya, maka dalam pergaulan sehari-hari, baik di lingkungan keluarga dan masyarakat luas, akan terasa akrab dan harmonis. Hal ini bisa menjadi nyata, bila kita mempunyai belas kasih terhadap yang kecil dan menghormati terhadap yang lebih tua. Seperti dalam hadis Rasulullah saw. berikut.
لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يَرْحَمْ صَغِيرَنَا وَيُوَقِّرْ كَبِيرَنَا
“Tidak tergolong umatku orang yang tidak belas kasihan kepada yang kecil, dan tidak menghargai (menghormati) kepada yang tua.” (HR Abu Dawud dan Turmudzi)
Oleh karena itu, rasa unggah-ungguh atau hormat (yang tidak berlebih-lebihan) haruslah kita budayakan di kalangan umat Islam. Termasuk unggah-ungguh kepada yang sudah sepuh umurnya. Unggah-ungguh menghormati penguasa atau pimpinan yang adil. Bila waktu muda kita membiasakan rasa unggah-ungguh kepada orang yang lebih sepuh, pada usia tua nanti kita juga akan terbiasa menghormati.
Terdapat hadis lain yang semakin menguatkan pentingnya unggah-ungguh menyebutkan
أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِينَ إِيمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا
“Sebaik-baiknya seorang mukmin adalah orang yang beriman dan baik pula akhlaknya.” (HR. Turmudzi, Ahmad, Abu Dawud)
Sebenarnya unggah-ungguh merupakan cara dalam menjalani kehidupan di dalam lingkungan keluarga, sekolah, dan juga masyarakat. Apakah hal tersebut pantas saya lakukan atau pantaskah orang lain menerima sikap atau perlakuan tersebut.
Jika kita mendahulukan orang yang lebih sepuh, dalam melakukan hal tertentu, maka kita juga akan mendapatkan perlakuan hormat dari orang sepuh.
Contohnya, jika kita menawarkan agar orang tua dhahar (makan) terlebih dahulu, belum tentu orang tua mau makan terlebih dahulu, dengan alasan biar anaknya (yang muda) dahulu. Dari hal ini akan timbul sikap saling menghargai antara yang muda dan yang tua.
Kita juga harus memperhatikan bahwa istilah lebih muda, sebaya, dan lebih tua tidak hanya berarti umur. Istilah tersebut juga berarti pada strata sosial orang yang kita ajak berinteraksi.
Kata ‘nuwun sewu’ terkandung makna mendudukkan orang yang diajak berinteraksi, merupakan sikap minta permisi (excuse) agar tidak mengandung unsur paksaan atau tekanan. Juga mengandung makna menghormati agar tidak terjadi salah paham.
Unggah-ungguh seharusnya dipakai dalam setiap sisi kehidupan, bahkan sebagai unsur filosofi dalam menjalani kehidupan bersama dan bermasyarakat. Juga sebagai wahana bagaimana melatih hati (sikap dan tindakan) agar bisa menerima dan menghormati orang lain dalam perikehidupan saat ini.
Sebagai implementasi dari penerapan unggah-ungguh adalah terciptanya sikap yang tidak mikirna awake dewe (egois), bisa menerima ‘kehadiran’ orang lain dalam kehidupannya.
Unggah-ungguh jangan malah dijadikan sebagai halangan karena dianggap tidak praktis, tidak lagi usum atau njamani – tidak up to date.
Justru jika kita ingin dihargai, seharusnya kita juga harus menghargai dan mendudukkan orang lain sesuai dengan lungguh-nya (mendudukkan, menempatkan sesuai kedudukannya) dan siapa-siapa yang seharusnya di-unggahke (menaikkan-dinaikan). Hal itu untuk menjaga orang yang kita ajak berinteraksi agar ikut meng-unggahke dan me-lungguhke diri kita pada porsi yang sesuai.
Terdapat beberapa upaya untuk meningkatkan unggah-ungguh anak usia dini di zaman sekarang ini, sebagai orang tua, kita harus memulainya dari diri kita sendiri, karena tindakan yang kita lakukan bisa menjadi cerminan dari anak kita.
Jika kita melakukan kebaikan, anak akan menirunya. Jika kita melakukan hal buruk, anak bisa saja ingin mencoba tindakan seperti yang dilakukan oleh orang tuanya.
Untuk itu, perlu sekali kita terapkan sikap sopan santun, tata krama, dan unggah-ungguh supaya anak semakin terlatih dan terbiasa. Dimulai dari hal-hal kecil di rumah, seperti mengajarkan anak bersalaman ketika ada tamu di rumah, menyapa guru, lalu bersalaman ketika bertemu di jalan.
Kita juga perlu mengoreksi kesalahan yang dilakukan oleh anak dan juga memberi tahu bahwa sopan santun sangat bermanfaat bagi dirinya dan orang di sekitarnya.
Sobat Mugres, yang lebih penting dalam unggah-ungguh, kita tidak boleh meninggikan (harkat, martabat, dan status sosial) diri kita pribadi. Di sinilah letak peran penting unggah-ungguh sebagai media latihan kita untuk dapat menahan diri, mengasah moral agar bersikap santun dan tidak sembrono dalam setiap sisi kehidupan kita.□
Cari peti di tengah gua Guanya gelap tiada pelita Mari berbakti kepada orang tua Sebab tanpanya kita bukan apa-apa
————————————————————–
Sumber tulisan:
(1) Tanpa penulis: “Unggah-Ungguh”. caknun.com, Sabtu, 30 Desember 2017, https://www.caknun.com/2017/unggah-ungguh/
(2) Laila, Kharisma. “Pentingnya Meningkatkan Unggah-Ungguh Anak Usia Dini di Era Serba Online”. kompasiana.com, Ahad, 10 April 2022, https://www.kompasiana.com/kharismalaila5845/62525d24bb4486141c036882/pentingnya-meningkatkan-unggah-ungguh-anak-usia-dini-di-era-serba-online
Penghimpun